Sodiqi.com - Ketika seorang anak mulai mengambil inisiatif untuk belajar sesuai keinginannya sendiri, seperti memilih mainan yang ingin dieksplorasi atau berusaha makan tanpa bantuan orang tua, hal ini tidak hanya sekadar fase biasa.
Sebaliknya, jika lingkungan terlalu banyak membatasi, mengkritik, atau mengambil alih semua keputusan, anak bisa merasa malu dan ragu akan kemampuannya.
Menurut teori psikososial Erik Erikson, perilaku tersebut merupakan cerminan dari tahap perkembangan kedua, yaitu tahap otonomi versus rasa malu dan ragu (1–3 tahun). Pada fase ini, anak mulai membangun kemandirian melalui pengambilan keputusan sederhana, sementara lingkungan sekitar berperan krusial dalam membentuk rasa percaya diri atau justru keraguan terhadap kemampuan mereka.
Seorang anak belajar sesuai dengan kehendaknya sendiri secara mandiri merupakan bagian dari teori psikososial erikson pada tahap perkembangan kedua.
Bagaimana Otonomi Terbentuk pada Tahap Ini?
Erikson menjelaskan bahwa setelah melewati tahap pertama (kepercayaan vs ketidakpercayaan), anak memasuki periode di mereka mulai menyadari kemampuan fisik dan keinginan untuk mandiri. Misalnya, anak usia dua tahun mungkin bersikeras memakai sepatu sendiri mesupun terbalik, atau menolak bantuan saat naik tangga.Aktivitas ini adalah upaya alami untuk menguasai lingkungan sekitarnya. Jika orang tua atau pengasuh memberikan dukungan (seperti memberi ruang untuk mencoba, memberikan pujian, atau tidak menghukum kesalahan) anak akan mengembangkan rasa otonomi. Mereka merasa dihargai, percaya diri, dan termotivasi untuk terus belajar mandiri.
![]() |
Ilustrasi Anak Belajar Mandiri - Photo by Helena Lopes on Unsplash |
Sebaliknya, jika lingkungan terlalu banyak membatasi, mengkritik, atau mengambil alih semua keputusan, anak bisa merasa malu dan ragu akan kemampuannya.
Contohnya, ketika orang tua terus menerus melarang anak menyendok makanan karena takut berantakan, si kecil mungkin akan enggan mencoba hal baru di kemudian hari. Rasa malu ini berpotensi menghambat perkembangan keterampilan problem-solving dan kepercayaan diri.
Kaitan Antara Kemandirian Belajar dan Tahap Otonomi
Belajar secara mandiri adalah manifestasi langsung dari tahap ini. Saat anak memilih buku yang ingin dibaca, bermain puzzle tanpa instruksi, atau mengeksplorasi cara menyusun balok, ia sedang melatih otonomi.Proses ini tidak hanya mengasah kemampuan kognitif, tetapi juga mengajarkan tanggung jawab atas pilihannya. Orang tua yang membiarkan anak mengambil risiko kecil (seperti terjatuh saat belajar berlari) justru membantu mereka memahami konsekuensi alami dari tindakan, kunci untuk membangun kemandirian.
Kendati demikian, penting untuk diingat bahwa dukungan tetap diperlukan. Misalnya, menyediakan mainan sesuai usia, memberi contoh cara melakukan sesuatu, atau menawarkan bantuan tanpa memaksa. Keseimbangan antara kebebasan dan bimbingan inilah yang membuat anak merasa aman untuk bereksperimen.
Kendati demikian, penting untuk diingat bahwa dukungan tetap diperlukan. Misalnya, menyediakan mainan sesuai usia, memberi contoh cara melakukan sesuatu, atau menawarkan bantuan tanpa memaksa. Keseimbangan antara kebebasan dan bimbingan inilah yang membuat anak merasa aman untuk bereksperimen.
Dampak Jangka Panjang Tahap Ini
Kegagalan dalam melewati tahap otonomi vs rasa malu bisa memengaruhi kepribadian anak hingga dewasa. Individu yang terlalu sering dikendalikan di fase ini cenderung kurang inisiatif, mudah cemas, atau bergantung pada orang lain dalam mengambil keputusan.Sebaliknya, anak yang berhasil mengembangkan otonomi akan tumbuh sebagai pribadi yang resilient, kreatif, dan memiliki motivasi intrinsik untuk belajar.
Ikhtisar
Kemandirian belajar anak bukan sekadar kebiasaan, melainkan hasil dari interaksi positif antara keinginan alaminya untuk mandiri dan dukungan lingkungan. Tahap otonomi vs rasa malu dan ragu menjadi fondasi bagi perkembangan keterampilan sosial, emosional, dan kognitif di masa depan.Oleh sebab itu, orang tua dan pendidik perlu peka dalam memberikan ruang bereksplorasi sembari memastikan anak merasa didukung—bukan dihakimi—atas setiap langkah kecil yang mereka ambil.